Nakula
- Home
- Omah Wayang
- Nakula

Nakula
NAKULA yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka.
Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib.
Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing.
Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani.
Nakula juga mempunyai cupu berisi, “Banyu Panguripan/Air kehidupan” pemberian Bhatara Indra.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.
Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.
Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan
memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang
Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa
yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,
Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)
dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
RADEN NAKULA DAN SADEWA
Kedua ksatria ini kembar, putra Pandu dari permaisuni Dewi Madrim, saudara Prabu Salya, raja negara Madraka. Waktu kanak-kanak, Nakula dan Sadewa bernama Pintèn dan Tangsèn.
Kesetiaan saudara kembar pada ketiga saudara mereka yang lebih tua tak pernah goyah. Kelima-limanya berpendirian sama dan merupakan suatu benteng yang kuat.
Sewaktu perang Baratayuda hampir pecah, Pendawa merasa was-was menghadapi prabu yang sakti dan sabar itu. Atas kebijaksanaaa Sri Kresna, Nakula dan Sadewa diutus menghadap Prabu Salya untuk meredakan amarahnya. Oleh karenanya, Prabu Salya tak sampai hati bermusuhan dengan Pendawa mengingat, bahwa kelima bersaudara itu adalah kemenakannya sendiri. Maka ketika perang Baratayuda pecah, Prabu Salya pun tak berperang sepenuh semangat, hingga menyebabkan menangnya Pendawa di dalam perang itu.
Nakula bermata jaitan, berhidung mancung, bersanggul kadal menek bersunting kembang Kluwih panjang. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain bokongan putran.
Nakula dan Sadewa berwanda: Banjet dan Bontit.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa – Hardjowirogo – PN Balai Pustaka – 1982
A Storied History

Permulaan
wayang berasal dari kata wayangan
yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita
sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar
karena sumber aslinya telah hilang
(yang ngilangin bukan saya, lhoo . . . 🙂 🙂 )
di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya
dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman
dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’
agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala
(masih ingat lakon ‘sudamala’, kan?)
di tahun (898 – 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa
namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang
seperti yang tertulis dalam prasasti balitung
sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara
(terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang
menceritakan tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini,
ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi)
pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M
mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa
dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna
lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa
di masa raja erlangga

Wayang Wong
Wayang Wong merupakan hasil karya dari Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).
Ceritanya sama dengan cerita wayang lainnya,yaitu lakon Mahabaratha, hanya wayang digantikan dengan dimainkan oleh orang yang sebenarnya. Wayang wong merupakan drama tari jawa klasik yang berdialog dengan prosa. Kostumnya disesuaikan dengan wayang kulit. Pernciptanya adalah Tumenggung Joyo Dipuro, kepala sebuah badan yang bertugas membuat pakaian wayang wong. Badan Tersebut bernama KAWEDANAN HAGENG GLADAG LAN KRIYA. Kedudukan dalang atau narator digantikan oleh sutradara.
Pelaku WAYANG WONG (WAYANG ORANG) adalah seseorang yang dilengkapi dengan pakaian sesuai dengan perlengkapan wayang kulit, misalnya WAYANG PURWA

Wayang Beber

Wayang Golek
Ini adalah wayang yang terbuat dari kayu dengan bentuk boneka tiga dimensi. Bentuk drama wayang golek ini sangat disukai karena gerakannya dimana terlihat seperti benar-benar hidup. Wayang golek ini diberi pakaian dengan pakaian yang berwarna-warni agar terlihat lebih indah.
Menurut Serat Sastramiruda, Sunan Kudus membuat WAYANG GOLEK mengambil ceritera WAYANG PURWA. Iringan memakai gamelan slendro, rebab, kendang, ketuk, kenong, gong, serta kecer pada tahun 1506. Terdapat pula WAYANG GOLEK dengan ceritera Menak, wayang Golek tersbut kemudian disebut WAYANG TENGUL.
Sesudah Demak pecah kraton pindah ke Pajang. Wayang-wayang sebagian dibawa ke Cirebon, maka di cirebon terdapat WAYANG GOLEK PURWA campur dengan Menak disebut WAYANG CEPAK. Wayang Golek di pasundan untuk ceritera Purwa juga untuk babad tabah Pasundan. Wayng Golek dengan ceritera menak mulai dari Kudus terus ke Cirebon hingga merata sampai sekarang.
WAYANG GOLEK di Jawa Timur hanya terdapat di Madiun, Ponorogo, ceritera adalah WAYANG PURWA. Seringkali juga Panji atau dongeng-dongeng sesuai keadaan daerah.

Wayang Gedog
Seorang wali bernama Sunan Ratu Tunggal di Giri mencipta WAYANG GEDOG. Yang dikisahkan oleh WAYANG GEDOG ialah ceritera Panji, sebab wali Sunan Ratu Tunggal gemar membaca serat panji, sebagai sumber juga diambil dari wayang purwa. Muka sama, rambut digelung, ada juga yang disasak, memakai kalung, memakai keris, tidak ada buta (Raksasa) dan wanara. Satria dari sebrang bernama Prabu kelana, anak buahnya Bugis bertutup kepala bulat, bunyi-bunyian gamelan pelok. Demikianlah asal mula WAYANG GEDOG pertatama di buat dari kulit. Sebagai tanda adalah Batara Guru memegang tombak dililit ular naga, dengan sengkalan : GEGAMANING NAGA KINARYENG BATARA , tahun 1485.
Masih sezaman, Sunan Bonang membuat WAYANG BEBER GEDOG, untuk mengganti WAYANG BEBER berujud manusia. Sumber diambil dari wayang kulit purwa ciptaan Demak, dicoret miring, muka tampak setengah sama, semua gambar masih mempunyai dua mata. Mulai saat itu WAYANG BEBER GEDOG melakonkan riwayat Panji dengan sengkalan :
WAYANG WOLU KINARYA TUNGGAL tahun 1486.
Sunan Bonang mencipta juga serat Damarwulan, menceriterakan negara Majapahit, pada waktu itu diperintah oleh Sang Ratu Ayu.